Garuda Pancasila merupakan lambang negara
republik indonesia yang dirancang oleh Sultan Hamid II dari pontianak dan
disempurnakan oleh Presiden Soekarno. Peresmian pemakaiannya pertama kali
adalah pada sidang kabinet republik indonesia serikat tanggal 11 februari 1950.
Bagan utama dari lambang ini adalah burung mitos garuda yang menggunakan
perisai di dadanya dan mencengkram pita berwarna putih bertuliskan semboyan nasional
“ Bhinneka Tunggal Ika” yang artinya “Berbeda-beda tetapi tetap satu “
Pada perisai terdapat lima gambar yang
melambangkan pancasila yaitu 5 sila pancasila, yaitu :
- Ketuhanan Yang Maha Esa dilambangkan dengan BINTANG, yang artinya bintang dimaksudkan sebagai sebuah cahaya seperti layaknya Tuhan yang menjadi cahaya kerohanian bagi setiap manusia. Sedangkan latar berwarna hitam melambangkan warna alam atau warna asli yang menunjukkan bahwa Tuhan bukan sekedar rekaan manusia, tetapi sumber dari segala dan telah ada sebelum segala sesuatu di dunia ini ada.
- Kemanusiaan yang adil dan beradab dilambangkan dengan RANTAI, rantai terdiri atas mata rantai berbentuk segi empat dan lingkaran yang saling berkait membentuk lingkaran. Mata rantai segi empat melambangkan laki-laki, lingkaran melambangkan perempuan. Mata rantai yang berkait melambangkan setiap manusia laki-laki dan perempuan membutuhkan satu sama lain dan perlu bersatu sehingga menjadi kuat seperti sebuah rantai.
- Persatuan indonesia dilambangkan dengan POHON BERINGIN. Pohon beringin merupakan pohon besar dimana banyak orang bisa berteduh dibawahnya, seperti halnya semua rakyat Indonesia bisa ‘berteduh’ dibawah naungan negara Indonesia. Selain itu, pohon beringin memiliki sulur dan akar yang menjalar ke mana-mana, namun tetap berasal dari satu pohon yang sama, seperti halnya keragaman suku bangsa yang menyatu di bawah nama Indonesia.
- Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan dilambangkan dengan BANTENG, digunakan karena banteng merupakan hewan sosial yang suka berkumpul, seperti halnya musyawarah di mana orang-orang harus berkumpul untuk mendiskusikan sesuatu.
- Keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia dilambangkan dengan PADI DAN KAPAS. Padi dan kapas digunakan karena merupakan kebutuhan dasar setiap manusia, yakni pangan dan sandang sebagai syarat utama untuk mencapai kemakmuran yang merupakan tujuan utama bagi sila kelima ini.
Bagaimana proses terpilihnya burung garuda menjadi lambang negara republik indonesia?
Burung garuda merupakan hewan mitos dalam mitologi buddha
dan hindu yang digambarkan sebagai makhluk separuh burung ( sayap, paruh, cakar
) dan separuh manusia ( tangan dan kaki ).Garuda tampil di berbagai candi kuno
di indonesia seperti prambanan, mendut, sojiwan, penataran, belahan, sukuh, dan
cetho dalam bentuk relief atau arca, dan tradisi di indonesia .Garuda juga muncul di
berbagai kisah terutama di jawa dan bali yang melambangkan kebajikan,
pengetahuan, kekuatan,keberanian, kesetiaan dan disiplin.
Sebagai kendaraan (
wahana ) Wisnhu, garuda juga dianugrahi sifat Wisnhu sebagai pemelihara dan
penjaga tatanan alam semesta . Dalam tradisi bali, Garuda dimuliakan sebagai "Tuan segala makhluk yang dapat
terbang" dan "Raja agung para burung".Dalam kesenian Bali, Garuda digambarkan
sebagai makhluk surgawi dengan kepala, paruh, sayap, dan cakar elang dengan
tubuhnya tubuh manusia dan lengan manusia. Di Bali ia biasanya digambarkan sebagai makhluk yang memiliki kepala,
paruh, sayap, dan cakar elang,
tetapi memiliki tubuh dan lengan manusia.
Biasanya digambarkan dalam ukiran
yang halus dan rumit dengan warna cerah keemasan, digambarkan dalam posisi
sebagai kendaraan Wishnu, atau dalam adegan pertempuran melawan naga.
Posisi mulia Garuda dalam tradisi Indonesia sejak zaman kuna telah menjadikan
Garuda sebagai simbol nasional Indonesia, sebagai perwujudan ideologi
Pancasila. Garuda juga dipilih sebagai nama maskapai penerbangan nasional
Indonesia Garuda Indonesia.
Setelah Perang Kemerdekaan Indonesia 1945-1949, disusul pengakuan kedaulatan Indonesia
oleh Belanda melalui Konferensi Meja Bundar pada tahun 1949,
dirasakan perlunya Indonesia (saat itu Republik Indonesia Serikat)
memiliki lambang negara. Tanggal 10 Januari 1950 dibentuk Panitia
Teknis dengan nama Panitia Lencana Negara di bawah koordinator Menteri Negara
Zonder Porto Folio Sultan Hamid II dengan susunan panitia teknis Muhammad Yamin sebagai ketua, Ki Hajar Dewantara, M A Pellaupessy, Moh Natsir, dan R M Ng Poerbatjaraka sebagai anggota. Panitia ini bertugas
menyeleksi usulan rancangan lambang negara untuk dipilih dan diajukan kepada
pemerintah .
Lalu, terpilihlah dua rancangan lambang negara terbaik, yaitu karya
Sultan Hamid II dan karya M Yamin. Pada proses selanjutnya yang diterima
pemerintah dan DPR adalah rancangan Sultan Hamid II. Karya M. Yamin ditolak
karena menyertakan sinar-sinar matahari yang menampakkanpengaruh Jepang. Setelah rancangan terpilih, dialog
intensif antara perancang (Sultan Hamid II), Presiden RIS Soekarno dan Perdana
Menteri Mohammad Hatta, terus dilakukan untuk keperluan penyempurnaan rancangan
itu. Mereka bertiga sepakat mengganti pita yang dicengkeram Garuda, yang semula
adalah pita merah putih menjadi pita putih dengan menambahkan semboyan
"Bhineka Tunggal Ika".
Rancangan lambang negara tersebut mendapat
masukan dari Partai Masyumi untuk dipertimbangkan kembali, karena adanya
keberatan terhadap gambar burung Garuda dengan tangan dan bahu manusia yang
memegang perisai dan dianggap terlalu bersifat mitologis. Sultan Hamid II kembali mengajukan rancangan gambar
lambang negara yang telah disempurnakan berdasarkan aspirasi yang berkembang,
sehingga tercipta bentuk Rajawali-Garuda Pancasila. Disingkat Garuda Pancasila.
Presiden Soekarno kemudian menyerahkan rancangan tersebut kepada Kabinet RIS
melalui Moh Hatta sebagai perdana menteri. Lambang negara tersebut
diresmikan penggunaannya pada Sidang kabinet RIS tanggal 11 Februari 1950
dengan bentuk kepala Rajawali Garuda Pancasila masih “gundul” dan “tidak
berjambul”, dan diperkenalkan pertama kalinya kepada masyarakat Indonesia di
Hotel Des Indes (Jl. Gajah Mada, Jakarta) pada tanggal 15 Februari 1950 Soekarno terus memperbaiki bentuk Garuda Pancasila.
Pada tanggal 20 Maret 1950 Soekarno memerintahkan pelukis istana, Dullah,
melukis kembali rancangan tersebut; setelah sebelumnya diperbaiki antara lain
penambahan "jambul" pada kepala Garuda Pancasila, serta mengubah
posisi cakar kaki yang mencengkram pita dari semula di belakang pita menjadi di
depan pita, atas masukan Presiden Soekarno.Untuk terakhir kalinya, Sultan Hamid
II menyelesaikan penyempurnaan bentuk final gambar lambang negara, yaitu dengan
menambah skala ukuran dan tata warna gambar lambang negara. Rancangan Garuda
Pancasila terakhir ini dibuatkan patung besar dari bahan perunggu berlapis emas
yang disimpan dalam Ruang Kemerdekaan Monumen Nasional sebagai acuan,
ditetapkan sebagai lambang negara Republik Indonesia, dan desainnya tidak
berubah hingga saat ini.
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgo0s3EzpXCm_K4-byhBLTsCnrzlazZNq6UKxmoVWnbjWELhKomknqMny0541E0naM1WuMsRaRNE7lMMFO2ZzNNhL-p1tnVczVm0dqcZMN34_vGzbHoCLCxf4G8YhHeDsYLvnqLhTc9Uubj/s200/gwk4.jpg)
Alkisah di negeri dongeng, tersebutlah seorang
guru nan bijaksana bernama Resi Kasyapa. Resi ini memiliki dua orang
istri yang bernama Kadru dan Winata. Masing-masing dikaruniai anak-anak berupa
Naga dan Garuda. Meskipun sang resi sangat bijaksana dan bersikap adil terhadap
kedua istrinya, namun Kadru senantiasa merasa cemburu terhadap Winata. Maka
dalam setiap kesempatan ia senantiasa ingin menyingkirkan Winata dari perhatian
dan lingkaran keluarga. Segala tabiat dan niat jahat seringkali dijalankan
untuk menjauhkan Winata dari suami mereka.
Pada suatu ketika, para dewa mengaduk samudra
purba dengan air suci amertha sari, air suci yang membawa keabadian bagi
siapapun makhluk yang meminumnya. Bersamaan dengan peristiwa itu muncullah kuda
yang bernama Ucaihsrawa. Didorong oleh rasa kecemburuan yang telah menahun,
Kadru menantang Winata untuk bertaruh mengenai warna kuda Ucaihsrawa. Barang
siapa yang kalah dalam pertaruhan tersebut, maka ia harus menjadi budak seumur
hidup yang harus taat dan patuh terhadap apapun kehendak dan perintah sang
pemenang. Dalam taruhan, Kadru bertaruh Ucaihsrawa berwarna hitam. Sedangkan
Winata memilih warna putih.
Para Naga tahu bahwa kuda Ucaihsrawa sebenarnyalah
berwarna putih. Mereka kemudian melaporkan hal tersebut kepada Kadru, ibunda
mereka. Atas pelaporan para Naga, putranya, Kadru secara licik memerintahkan
para Naga untuk menyemburkan bisa mereka ke tubuh kuda putih agar nampak
seperti kuda hitam. Pada saat Ucaihsrawa tiba di hadapan Kadru dan Winata,
nampaklah kuda yang dipertaruhkan berwarna hitam, bukan putih sebagaimana
aslinya. Singkat cerita, Winata harus menjadi budak dan melayani segala
perintah Kadru seumur hidupnya yang tersisa.
Sebagai anak yang sangat berbakti kepada
ibundanya, Garuda merasa sangat marah atas kelicikan para Naga yang telah
membuat kebohongan besar atas diri Winata. Dengan kemarahan meluap, diseranglah
para Naga. Terjadilah pertempuran yang sangat dahsyat di atas langit, antara
Garuda dan para Naga. Dikarenakan kekuatan dan kesaktian diantara kedua kubu
sama dan seimbang, maka perang itupun berlangsung sepanjang saat sebagai simbol
keabadian pertempuran antara nilai kebaikan dan kebatilan.
Karena pertempuran berlangsung sekian lama
panjangnya, para Naga bersedia memberikan pengampunan atas perbudakan terhadap
Winata asalkan Garuda mampu memberikan tirta suci amertha sari yang dapat
memberikan keabadian hidup mereka dan ibunya. Akhirnya sang Garuda menyanggupi
apapun yang harus ia lakukan asalkan ia dapat membebaskan ibundanya.Dalm pengembaraan pencarian tirta suci amertha
sari, Garuda berjumpa dengan Dewa Wisnu. Ketika dimintakan air suci
tersebut, Wisnu mempersyaratkan akan memberikan air tersebut, asalkan
sang Garuda menyanggupi diri untuk menjadi tunggangan bagi Dewa Wisnu. Garuda
selanjutnya mendapatkan tirta suci amertha sari yang ditempatkannya dalam wadah
kamandalu bertali rumput ilalang. Dengan air suci mertha sari, para Naga
berniat mandi untuk segera mendapatkan keabadian hidup. Bersamaan dengan
itu, Dewa Indra yang kebetulan melintas mengambil alih air suci. Dari wadah
Kamandalu, tersisalah percikan air pada sisa tali ilalang. Tanpa berpikir
panjang, percikan air pada ilalang tersebut dijilati oleh para Naga. Tali
ilalang sangatlah tajam bagaikan sebuah mata pisau. Tatkala menjilati ilalang
tersebut, terbelahlah lidah para Naga menjadi dua bagian. Inilah asal-usul
kenapa seluruh keluarga besar Naga dan semua keturunannya memiliki lidah
bercabang.
Kegigihan Garuda dalam membebaskan ibunda
tercintanya dari belenggu perbudakan yang tidak mengenal rasa peri kemanusiaan
inilah yang kemudian oleh para foundingfathers kita diadopsi
secara filosofis dan disimbolisasikan dalam lambang negara kita. Garuda
bermakna sebagai simbol pembebasan ibu pertiwi dari belenggu perbudakan dan
penjajahan. Dengan lambang Garuda yang gagah perkasa, para pendahulu berharap
Indonesia akan menjadi bangsa besar yang bebas dalam menentukan nasib dan masa
depannya sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar